Kembali ke Sistem Ekonomi Islam


Seorang donatur LAM (Lembaga Amal Mujahidin) bertanya melalui mobile phone-nya, jika sudah membayar zakat apakah masih diwajibkan membayar pajak "Insya Allah ya Pak, tapi dapat mengurangi objek pajak yang dikenakan," jawab saya. "Oh begitu. Ya syukurlah." Sambil tertawa kecil, Bapak itu menanyakan apakah yang zakat Rp 5 juta yang ditransfer sudah masuk ke rekening LAM.
"Alhamdulillah sudah masuk Pak," jawab saya sambil mengucapkan terima kasih. Pada dasarnya pajak dan zakat adalah "dua kewajiban" yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan yang telah memenuhi ketentuan atau syarat-syarat tertentu menurut ketentuan syar'i atau menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. Di dalam UU Perpajakan di Indonesia sendiri ataupun di reformasi perpajakan tahun 1983, tidak ada pembahasan definisi pajak. Yang ada adalah pengertian wajib pajak, masa pajak, kredit pajak, tahun pajak, Surat Ketetapan Pajak, atau istilahistilah perpajakan lainnya. Definisi pajak sendiri justru tidak ada dan inilah salah satu kekurangan UU perpajakan kita.


Di sisi lain, pengertian zakat dan dasar hukumnya sudah jelas. Zakat adalah sejumlah harta tertentu yang wajib disisihkan oleh setiap muslim untuk diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya menurut syariat Allah Swt. Dasar hukumnya adalah QS at Taubah: 103: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka….”
Juga QS al-Baqarah: 43 dan HR Abdullah bin Umar ra. “Sesungguhnya Allah Swt mewajibkan zakat untuk menyucikan hartakekayaan” (HR Bukhari) serta HR Ibnu Khuzaimah dan Hakim.
Persoalan lain adalah, adanya dualisme zakat dan pajak yang sering disebut "double taxs". Di negara kita yang mayoritas penduduknya muslim, diatur dan dipimpin oleh seorang presiden muslim, seorang yang wajib zakat (muzakki) masih dikenakan juga wajib bayar pajak (taxs payer). Hal ini akibat adanya dua undang-undangberbeda yang mengatur ketentuan tersebut yaitu, 1) Ketentuan Wajib Zakat, diatur dalam UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan 2) Kewajiban membayar Pajak diatur dalam UU No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan (PPh).
Hal ini tentunya dirasa sangat "berat" bagi kaum muslimin, karena kedua UU tersebut menyatakan bahwa zakat dan pajak adalah suatu kewajiban. Belum lagi selain pajak penghasilan (PPh), masih dikenakan juga Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pajak atas penyewaan tanah dan bangunan yang sifat pengenaan pajaknya final, pajak penyewaan alatalat, serta pajak-pajak atau pungutan daerah seperti restribusi parkir, pajak penerangan jalan dan pajak galian C atas pemanfaatan sumber-sumber alam. Singkat kata, hampir tidak ada penghasilan dan penjualan yang tidak luput dari bidikan pajak.
Kita patut bersyukur bahwa pembayaran zakat yang dilakukan di lembaga-lembaga yang telah ditetapkan oleh pemerintah seperti Lembaga Pengelola Zakat (LPZ) atau di Badan Amil Zakat pada akhir tahun dalam perhitungan dan pelaporan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) Tabunan, dapat dikreditkan atau sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak. Tetapi, kebaikan pemerintah dalanm hal ini masih setengah hati karena yang berkurang masih sebatas pada Penghasilan Kena Pajaknya. Seharusnya, zakat penghasilan langsung dapat dikreditkan atau dapat mengurangi utang pajak penghasilan.
Ada perbedaan prinsipal dalam pemanfaatan atau peruntukan basil penerimaan zakat dan basil penerimaan pajak. Zakat diperuntukan kepada 8 asnaf yang jelas sesuai ketentuan syar'i termasuk di dalamnya diperuntukkan fakir miskin, sedangkan pajak untuk siapa? Jika dalam Orde Baru punya motto pajak adalah untuk pembangunan, tetapi sekarang penerimaan pajak salah satunya adalah untuk membayar utang negara. Dalam APBN 2004 sebagian besar (510) yang penerimaan pajak untuk membayar utang.
Karena itu, sudah seharusnya kita sekarang menyadari dan harus bangkit, serta berani mengubah dan mengambil sikap bahwa orang muslim harus kembali kepada sistem ekonomi Islam, termasuk masalah perundang-undangan perpajakannnya. Selama kita masih bercokol pada sistem ekonomi yang tidak berbasis pada sistem ekonomi Islam, maka keadaannya seperti yang kita rasakan saat ini. Meski penerimaan pajak negara meningkat, tetapi kemiskinan juga meningkat. Padahal, seharusnya jika penerimaan pajak naik, maka kemiskinan menurun. Allah Swt telah menjamin itu jika hamba-Nya mengikuti petunjuknya, tetapi jika mereka ingkar dan mendustakan ayat-ayatnya, maka neraka telah menantinya (lihat QS al-Baqarah: 38).
Islam telah mengatur bagaimana cara penerimaan zakat termasuk penerimaan pajak, serta bagaimana mengatur penditribusian zakat dan pajak. Itulah kelebihan Islam. (*)

Oleh: Zein Musta'in SE
Direktur LAM
EDISI 8 TAHUN KE-1 RABI'UL AKHIR-JUMADIL 'ULA 1429 H MEI 2008

Mengenal Kiprah LAM

 
© design by ranggadk - manage by Zein Musta'in, SE created 2008